Kaedah berikut harus dipahami oleh setiap penuntut ilmu syar’i sebagaimana nasehat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Kaedah ini dapat diterapkan dalam beberapa masalah seperti apakah kita boleh melanjutkan shalat sunnah dan kita sudah berada di raka’at kedua, tinggal meneruskan. Masalah tersebut bisa terjawab dengan memahami kaedah ini.
Kaedah ini dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dengan lafazh,
الاستدامة أقوى من الإبتداء
“Meneruskan itu lebih kuat daripada memulai.” (Syarhul Mumti’, 7: 156).
Ibarat lain diungkapkan oleh ulama lainnya seperti dari Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wan Nazhoir dengan ungkapannya,
البقاء أسهل من الإبتداء
“Tetap (melanjutkan) itu lebih mudah daripada memulai.”
Ibnu As Subkiy dalam Al Asybah wan Nazhoir juga berkata,
يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
“Sesuatu yang dilanjutkan itu dimaafkan, namun tidak dimaafkan ketika memulai.”
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (32: 148) mengungkapkan,
وَالدَّوَامُ أَقْوَى مِنْ الِابْتِدَاءِ
“Meneruskan lebih kuat daripada memulai.”
Pengertian Kaedah
Maksud kaedah, terus melakukan suatu amalan lebih mudah daripada memulainya dari awal. Dalam memulai butuh sesuatu daripada sekedar melanjutkan. Karena yang terus ada lebih kuat hukumnya.
Kaedah ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara hukum meneruskan suatu amalan dan hukum memulai. Kedua hal ini telah dibedakan dalam Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Kenapa sampai meneruskan itu lebih mudah atau lebih kuat? Karena jika sesuatu sudah terlanjur terjadi, maka sukar untuk dihilangkan atau dihentikan. Seandainya antara memulai dan mempertahankan itu disamakan, maka manusia akan mendapati kesulitan yang sangat. Oleh karenanya, syari’at Islam membedakan kedua hal ini. Islam memudahkan untuk meneruskan, namun tidak halnya untuk memulai.
Insya Allah, maksud kaedah ini akan semakin jelas jika memperhatikan contoh yang akan penulis sampaikan.
Dalil Kaedah
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ ، وَكَفِّنُوهُ فِى ثَوْبَيْنِ ، وَلاَ تُحَنِّطُوهُ وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ ، فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا
“Mandikanlah mayit tersebut dengan air dan daun bidara, kafanilah ia dengan dua kain, janganlah ia diberi wewangian dan jangan kepalanya ditutupi karena kelak pada hari kiamat, ia akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah.” (HR. Bukhari no. 1265 dan Muslim no. 1206). Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang mati dalam keadaan berihrom tetap tidak boleh diberi wewangian. Ia tetap dalam keadaan seperti ketika ia meninggal dunia.
Dalam hadits ‘Aisyah disebutkan,
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ، حَتَّى أَجِدَ وَبِيصَ الطِّيبِ فِى رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ
“Aku dahulu pernah memberi wewangian pada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan wewangian terbaik yang beliau dapatkan, sampai aku melihat kilatan bekas wewangian di kepala dan jenggotnya.” (HR. Bukhari no. 5923 dan Muslim no. 1190). Hadits kedua menunjukkan bahwa bekas wewangian setelah masuk ihrom, tidaklah bermasalah.
Dari pemahaman kedua hadits di atas menunjukkan bahwa memulai mengenakan wewangian saat sudah ihrom tidak diperbolehkan. Namun jika wewangiannya masih ada dari pemakaian sebelum ihrom, maka tidaklah masalah. Sehingga disimpulkanlah kaedah, “Melanjutkan lebih mudah masalahnya dibanding memulai dari awal.” Inilah dalil kaedah yang kita kaji.
Contoh Penerapan Kaedah
1- Tidak boleh memulai shalat sunnah saat iqomah dikumandangkan. Namun jika seseorang sudah memulai shalat sunnah sebelum iqomah lantas ketika iqomah, ia berada di raka’at kedua, maka shalat sunnah tersebut tidak diputus. Akan tetapi, hendaklah ia menyempurnakannya hingga salam. Karena kaedah menyatakan “terus melanjutkan lebih kuat daripada memulai dari awal”.
2- Jika ingin menikah, maka harus dengan ridho si wanita. Namun jika rujuk setelah suami mengeluarkan ucapan talak, tidak dibutuhkan ridho wanita. Karena rujuk (dalam masa ‘iddah) berarti meneruskan nikah, bukan memulai akad baru. Dalam kaedah dinyatakan bahwa melanjutkan lebih mudah daripada memulai.
3- Jika seseorang memakai pakaian ihrom dan sebelumnya mengenakan harum-haruman di badan. Lalu setelah itu, ada wewangian yang mengenai pakaian ihrom dari badan sehingga pakaian ihrom menjadi wangi, maka seperti ini tidak termasuk dalam pelanggaran ihrom. Karena ketika itu wangian tadi berpindah dengan sendirinya bukan dipindahkan dan kaedah menyatakan bahwa keadaan melanjutkan lebih kuat daripada memulai.
Semoga kaedah fikih di atas bermanfaat. Wallahu a’lam.
Referensi:
Al Qowa’id wadh Dhowabith Al Fiqhiyyah ‘inda Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Turkiy bin ‘Abdillah bin Sholih Al Maiman, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1430 H, 2: 579-585.
—
@ Mabna 27, kamar 201, Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA
23 Rabi’ul Awwal 1434 H di waktu Zhuhur